MELARANG PENJUALAN TBS SAWIT KE LUAR JAMBI
Salah satu kebijakan pemerintah provinsi Jambi yang patut disoroti adalah akan dikeluarkannya larangan menjual TBS (Tandan Buah Segar) ke luar Provinsi Jambi . Hal ini dapat disimak pada salah satu koran lokal Jambi tiga hari lalu. Alasan yang dikemukakan adalah: 1) untuk mengembangkan industri hilir dan 2) bahwa hal larangan itu telah dimuat dalam RPJM Provinsi. Artinya kebijakan ini untuk sementara dijustifikasi oleh kebutuhan membangun industri hilir dan didukung oleh satu perencanaan yang sudah matang di provinsi.
Sebelum ini direalisasikan menjadi PERDA, perlulah disimak kegagalan yang pernah terjadi untuk peristiwa yang hampir sama.
1) Ingatan kita terus disegarkan oleh kegagalan BPPC yang mengatur pemasaran Jeruk dan Cengkeh di Jaman Presiden Suharto. Sampai sekarang berita tentang BPPC adalah berita buruk tentang praktek korupsi yang pernah dipraktekkan dan limpungnya perangkat hukum Indonesia untuk menuntaskannya. Dengan pendekatan kekuatan, maka disepakati bahwa Jeruk dan Cengkeh yang ditanam oleh petani, hak pemasaran ada di tangan lembaga yang berkuasa disebut BPPC. Ternyata praktek ini gagal total, karena kehadiran BPPC justru menghancurkan agribisnis jeruk dan Cengkeh.
2) Untuk pengalaman di Jambi pernah terjadi peristiwa yang mirip. Pedagang dan petani “dipaksa” menjual karet melalui satu lembaga yang disebut lelang. Lelang ini dilakukan pada dekade 70an, berlokasi di pasar Angso Duo. Kegagalan pasar lelang ketika itu adalah karena adanya praktek lelang bergilir, dimana masing-masing perserta berkolusi untuk tidak mengajukan penawaran yang lebih tinggi dari penawar yang lain. Praktek kolusi ini pada akhirnya mengakhiri nasib pasar lelang di Jambi .
Masih banyak contoh yang patut dijadikan referensi untuk rencana Pemda Provinsi ini untuk memberi bukti bahwa kekuatan pasar tidak dapat dibendung oleh perangkat yang disebut peraturan. Adalah kekuatan pasar yang menentukan kemana orang akan menjual TBS sepanjang itu pilihan yang memberikan manfaat yang lebih tinggi. Adalah kekuatan pasar juga yang menentukan berapa rentang harga pembelian TBS oleh PKS sepanjang memberi margin kepada PKS.
Presfektif bahasan ilmu ekonomi yang harus diingat dalam hal ini adalah “market fault”. Market default menunjukkan bahwa intervensi pemerintah di pasar justru membuat pasar tidak efisien, yang paling buruk malah menghancurkan komoditi itu sendiri. Sudah barang tentu yang pling rugi dalam hal ini adalah petani dan industri yang terkait di dalamnya.
Mencegah hal ini jangan terjadi maka dibutuhkan peran pemerintah yang hati-hati dan lebih berdasar.
Apa yang saya usulkan pada kesempatan ini adalah:
1) Identifikasi dulu kinerja industri sawit secara komprehensif dalam satu tatanan agribisnis yang komprehensif, jangan terlalu memikirkan ketersediaan TBS.
2) Identifikasi peran pemerintah dalam menopang kinerja Agribisnis sawit di Jambi , barulah dapat ditentukan apa yang harus dilakukan pemerintah
Jambi, 24 September 2008